dengan Konsep Six Sigma
Budi Manfaat
Mengelola
Lembaga Pendidikan adalah tak ubahnya mengelola sebuah perusahaan.
Dalam sebuah perusahaan, mutu produk yang berujung pada kepuasan
pelanggan menjadi harga mati yang harus di-nomorsatu-kan. Sebab, Era
perdagangan bebas otomatis akan memicu persaingan yang kian ketat. Siapa
yang mengabaikan mutu maka dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh
pelanggan. Dan demikianlah juga yang berlaku di lembaga-lembaga
pendidikan (baca: sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi). Dalam
kenyataannya, menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan ternyata juga
diimbangi dengan sejumlah diantaranya yang harus gulung tikar.
Ini menandakan bahwa masyarakat kian cermat dalam menentukan pilihannya.
Selalu berlomba dalam peningkatan mutu adalah sebuah keharusan. Selamat
tinggal lembaga pendidikan tak bermutu.
Beragam
pendekatan digunakan dalam upaya peningkatan mutu. Dianataranya yang
populer adalah Manajemen Six Sigma. Kesuksesan beberapa perusahaan besar
yang mendunia semisal Motorola, Toshiba, Johnson & Johnson, American Express,
dan banyak lagi yang lainnya, adalah buah dari upaya tanpa henti dalam
meningkatkan mutu produk dan kepuasan pelanggan dengan manajemen six sigma. Dan saatnya dunia pendidikan juga harus menuai sukses serupa.
Apa itu Six Sigma?
Untuk sampai ke arti Six Sigma, kita perlu tengok sejarahnya sepintas. Six Sigma dimulai oleh Motorola ditahun 1980-an dimotori oleh salah seorang engineer disana bernama Bill Smith atas dukungan penuh CEO-nya Bob Galvin. Motorola menggunakan statistics tools diramu dengan ilmu manajemen menggunakan financial metrics (yaitu Return on Investment, ROI) sebagai salah satu metrics/alat ukur dari quality improvement process.
Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Dr. Mikel Harry dan
Richard Schroeder yang lebih lanjut membuat metode ini mendapat sambutan
luas dari petinggi Motorola dan perusahaan lain.
Six
Sigma merupakan sebuah metodologi terstruktur untuk memperbaiki proses
yang difokuskan pada usaha mengurangi variasi proses (process variances) sekaligus mengurangi cacat (produk/jasa yang diluar spesifikasi) dengan menggunakan statistik dan problem solving tools secara intensif. Semakin
besar variasinya maka berarti semakin jauh dari target yang diinginkan.
Sebagai contoh, dalam proses pembelajaran di Perguruan Tinggi
ditargetkan waktu tempuh untuk program S1 adalah 8 semester. Jika
ternyata dari 1000 mahasiswa hanya ada 100 saja yang dapat lulus tepat
waktu, dan selebihnya harus memakan waktu hingga 9, 10, 11, bahkan
hingga 14 semester misalnya, maka dikatakan variasinya cukup besar. Dan
kondisi diluar target tersebut dikatan sebagai kondisi cacat (defect).
Secara harfiah, Six Sigma (6σ) adalah suatu besaran yang bisa kita terjemahkan secara gampang sebagai sebuah proses yang memiliki kemungkinan cacat (defects opportunity) sebanyak 3,4 buah dalam satu juta produk/jasa yang dihasilkan. Sebagai bandingan, jika digunakan Two Sigma
misalnya, maka mempunyai arti bahwa dari sejuta produk yang dihasilkan
dimugkinkan sekitar 308.537 produk yang ternyata cacat. Cukup besar,
bukan? Jadi, Six Sigma adalah sebuah tujuan untuk mencapai nyaris sempurna.
Kesempurnaan (tanpa cacat) memang hampir mustahil didapatkan dalam
sebuah proses produksi. Namun mengupayakan agar tingkat kegagalan
(cacat) sekecil mungkin tentu saja harus terus dilakukan. Keharusan
tersebut adalah karena berkaitan dengan penghematan biaya, menjaring
pelanggan lebih banyak, dan membangun reputasi bagi produk dan layanan
dengan performa/kinerja tinggi.
Six Sigma mengedepankan pelanggan dan menggunakan fakta dan data untuk mendapatkan solusi-solusi yang lebih baik. Tiga bidang utama yang menjadi target usaha six sigma yaitu: Meningkatkan kepuasan pelanggan; Mengurangi waktu siklus; dan mengurangi cacat (defect).
Six Sigma untuk Kemajuan Lembaga Pendidikan
Jika
diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan (LP), maka yang disebut
sebagai pelanggan adalah masyarakat pengguna (orangtua, siswa), dan
produknya adalah kompetensi para lulusannya. Setiap Lembaga pasti
mempunyai target yang jelas layaknya sebuah perusahaan yang tertuang
dalam visi-misi lembaga, misalnya; target waktu studi, target kompetensi
lulusan, dan seterusnya. Jika target itu meleset maka dikategorikan
sebagai produk cacat. Disinalah peran Lembaga dalam menjalankan proses pendidikan. Dengan Manajemen proses Six Sigma, maka target itu diharapkan nyaris sempurna.
Bagaimana proses itu dilakukan? Tahapan-tahapannya biasa dirangkum dalam DMAIC. Yaitu: DEFINE, MEASURE, ANALYZE, IMPROVE, CONTROL.
- DEFINE (Mengidentifikasi Masalah)
Telusuri
akar permasalahan penyebab terjadinya cacat. Andaikan dalam suatu
sekolah banyak siswa yang tidak lulus UNAS misalnya, maka harus
dicermati penyebab utamanya. Apakah karena model pembelajarannya? Siswa
yang malas? Model UNAS? Dan seterusnya. Jika akar masalahnya dapat ditemukan maka memudahkan untuk mengatasinya.
- MEASURE (Mengukur)
Measure merupakan tindak lanjut dari langkah Define dan merupakan sebuah jembatan untuk langkah berikutnya. Langkah ini memeliki dua sasaran utama. Pertama,
mendapatkan data untuk memvalidasi dan mengkuantifikasi masalah. Kedua,
menyentuh fakta dan angka-angka yang memberikan petunjuk tentang akar
masalah.
- ANALYZE (Menganalisa)
Menentukan
faktor-faktor yang paling mempengaruhi proses; artinya mencari satu
atau dua faktor yang kalau itu diperbaiki akan memperbaiki proses kita
secara dramatis.
- IMPROVE (Memperbaiki)
Di
tahap ini kita mendiskusikan ide-ide untuk memperbaiki sistem kita
berdasarkan hasil analisa terdahulu, melakukan percobaan untuk melihat
hasilnya, jika bagus lalu dibuatkan prosedur bakunya (standard operating procedure-SOP).
- CONTROL (Kontrol)
Kita harus membuat rencana dan desain pengukuran agar hasil yang sudah bagus dari perbaikan team kita bisa berkesinambungan. Dalam tahap ini kita membuat semacam metrics untuk selalu dimonitor dan dikoreksi bila sudah mulai menurun ataupun untuk melakukan perbaikan lagi.